Saya sedang membaca buku di suatu program studi saat senior saya
datang dan mulai ngobrol dengan saya. Ada satu perkataannya yang masih
saya ingat, kira-kira begini katanya, “Di sini itu sulit membedakan
mahasiswa yang pintar sama yang beruntung.” Saya hanya tersenyum
mendengar pernyataan itu dan segera otak saya reflek
menghubung-hubungkan perkataan itu dengan rekam jejak kuliah saya
selama hampir enam semester ini.
Sepanjang hasil otak saya menghubungkan-hubungkan, pernyataan itu
sepertinya tidak terlalu salah, meskipun di satu sisi saya berharap
pernyataan itu juga tidak sepenuhnya benar. Menurut saya, kalau sudah
kenal orang-orangnya secara personal itu mudah dibedakan, tapi kalau
referensinya hanya IP saja, siapakah yang berani menjamin siapa lebih
pintar dari siapa?
Semuanya masih tergantung faktor X yang merupakan perpaduan antara
banyak faktor seperti dosen, jam masuk kuliah, teman sekelas, yang mana
semuanya adalah variable
yang tidak bisa kita kontrol dalam perkuliahan, atau kalau dalam kancah
persepak-bolaan biasa di sebut faktor non-teknis. Sedangkan di kalangan
mahasiswa faktor ini lumrah disebut keberuntungan. Dan layaknya faktor
non teknis lainnya yang tidak bisa dikontrol oleh diri kita sendiri
maka biarlah yang Maha Mengontrol (Mengatur) yang melakukannya. Kita
hanya tinggal berdoa sungguh sungguh pada-Nya. Dan kalau ada waktu yang
mustajab (manjur) untuk berdoa mengenai hal hal seperti ini saya kira adalah sekarang (sebelum perwalian dengan dosen wali).
Salah satu faktor yang sering menjadi perbincangan oleh mahasiswa
adalah dosen. Maklum, menurut saya kalau faktor keberuntungan itu
dianggap 100% maka rasio dari faktor dosen ini akan menempati nilai
tertinggi sehingga akan selalu mendapatkan perhatian khusus dari
mahasiswa. Oh ya, agar tidak salah penafsiran, yang saya maksud dengan
faktor dosen ini meliputi berbagai parameter seperti metode penilaian,
cara mengajar, pemberian dan rasio penilaian tugas, serta penilaian
absen.
Sepanjang masa perkuliahan yang masih berjalan selama tiga semester
ini setidaknya saya bisa mengelompokkan dosen menjadi tiga kategori
berdasarkan metode penilaian. Pertama yang menjadi favorit adalah dosen
yang akan senang hati memberikan nilai bagus untuk semua anak didiknya.
Kedua, dosen yang memberikan nilai sesuai dengan kemampuan anak
didiknya, ini masih bisa dibedakan menjadi, dosen dengan standard
tinggi dan yang sedang sedang saja. Poin ketiga inilah yang paling
susah, dosen yang penilaiannya sulit diterka. Ini adalaha tipe dosen
yang saya sebut dengan penilaian random. Saya dan teman teman saya
membayangkan dosen seperti ini menggunakan metode opyokan seperti dalam arisan untuk memberikan nilainya.
Kalau kertas yang keluar A ya A kalau yang keluar B ya B. Tentu saja
cara seperti arisan ini hanya imajinasi saya dan teman teman karena
frustasi saat berhadapan dengan dosen yang nilainya bisa dibilang
acak-acakan. Sejujurnya, metode pemberian nilai yang dipakai oleh dosen
seperti itu masih menjadi misteri dan hanya Tuhan (dan dosen itu
sendiri tentunya) yang tahu. Teman saya menyarankan banyak-banyak
berdoa saja kalau berhadapan dengan dosen macam itu.
Saya sendiri tidak bisa menyalahkan cara penilaian dosen untuk hal-hal
yang mungkin kurang adil untuk sebagian teman-teman mahasiswa. Karena
kita sendiri kadang juga tidak adil pada diri kita sendiri, asal dapat
nilai bagus, entah itu sudah sesuai dengan kemampuan yang kita miliki
atau usaha yang kita lakukan atau tidak, kita akan dengan sukacita
menerimanya tanpa banyak komentar dan mempertanyakan asal muasal nilai
tersebut.
Tapi kalau nilai yang didapat jauh dari kata baik sepertinya lebih
mudah untuk mempertanyakan asal muasal munculnya nilai tersebut,
daripada menginstropeksi diri mengenai apa saja yang sudak dilakukan
selama perkuliahan mata kuliah itu. Tentu saya tidak mengganggap semua
mahasiswa seperti uraian saya di atas, mungkin hanya sebagian (entah
berapa) dan termasuk juga saya. Sebab itu, saya menggunkan kata “kita”
karena yang dimaksud bisa saja saya dan sebagian dari anda yang membaca.
Kalau saya analisa sendiri, sebenarnya istilah keberuntungan dalam
nilai adalah istilah yang kita gunakan untuk menjelaskan asal muasal
munculnya nilai tersebut ketika asal muasal nilai itu sendiri tidak
diketahui. Ya anda tahu, seperti ketika kita atau orang orang dahulu
sering menyebut hal-hal yang tidak atau belum bisa dinalar cara
kerjanya sebagai hal tersebut terlihat ajaib. Jadi ini semua, menurut
saya hanya masalah transparansi penilaian, saya percaya tidak ada dosen
yang menilai semaunya sendiri, pasti semua memiliki pertimbangan
masing-masing. Yang ada hanyalah dosen yang sering tidak transparan
dalam penilaian sehingga kita sebagai anak didiknya tidak tahu asal
muasal nilai yang kita terima sehingga merasa penilaian yang dihasilkan
kurang adil.
Salah siapa? Bisa dosen dan bisa mahasiswa. Yang tidak transparan jelas
dosen karena beliau yang memberikan penilaian, dan ini sedikit parah,
selama kuliah, saya ingat baru tiga mata kuliah yang nilai UTS-nya
dibagikan. Tapi sebenarnya kita juga mempunyai kesempatan (dan
kemampuan) untuk mengubah cara itu. Caranya? lewat IPD (Indeks Prestasi
Dosen), tentu kita semua sudah mengisinya, tapi seberapa besarkah dari
kita yang mengisi secara serius. Saya masih sering melihat teman teman
saya mengisi IPD sekenanya, bahkan saya sendiri kadang juga malas
karena banyaknya poin yang harus diisi.
Padahal kalau anda pernah mencermati ada satu pertanyaan yang
berhubungan dengan transparansi nilai. Kira kira begini “Apakah dosen
membagikan hasil tugas atau ujian?”. Dan ketika kita mengisi sekenanya
kita sudah melewatkan satu kesempatan untuk menuntut transparansi
nilai. Kadang aneh juga kalau kita bilang dosen tidak boleh menilai
seenaknya sendiri padahal kita hanya mengisi paling tidak 16 form saja (dengan asumsi delapan mata kuliah, setiap mata kuliah satu form untuk
dosen dan satu untuk mata kuliah itu sendiri) sudah malas, padahal
dosen harus menilai kurang-lebih 30 mahasiswa (kalau hanya mengajar 1
mata kuliah saja). Terlepas IPD dihiraukan dosen atau tidak, saya rasa
mengisi IPD dengan sebenar-benarnya adalah penting.